Jumat, 03 Februari 2017

MBAH KUWU SANGKAN CIREBON (Pangeran Cakrabuana)

Terlahir dengan nama [Raden] Walangsungsang, anak sulung dari tiga bersaudara beserta [Nyi Dewi] Rara Santang atau Lara Santang (Yang kelak bernama Hj. Syarifah Muda’im, setelah ibadah Haji), dan [Raja] Sangara (Yang juga dikenal dengan nama Kian Santang). Ayahnya adalah Raden Pamanah Rasa, pewaris tahta Pajajaran (Kerajaan Galuh Pakuwuan), yang kelak dikenal dengan dengan nama Prabu Siliwangi. Raden Pamanah Rasa adalah anak dari Prabu Anggalarang, Raja Kerajaan Galuh. Ibunya bernama Nyi Subanglarang anak dari Syekh Quro (Kerawang). Syekh Quro atau Syekh Hasannudin adalah pemimpin (Kyai) pesantren Quro sekaligus pemimpin di wilayah pelabuhan Kerawang (Qurotul ‘Ain) bergelar Mangkubumi Jumajan Jati. Ternyata, dalam penelusuran berikutnya, Syekh Quro adalah juga seorang raja dari negeri seberang (Kemlaka atau Champa), yang meninggalkan tahta dan keluarganya untuk bertapa. Tempatnya bertapa kemudian diberi nama Nagari Singapura (Martasinga atau Mertasinga), yang menjadi bawahan Kerajaan Galuh. Di sana, beliau dikenal dengan nama Ki Gede[ng] Tapa, tanpa ada yang tahu asal-usul atau nama aslinya. Bertemu kembali dengan puterinya Subanglarang, yang terlahir dengan nama Subang Keranjang, saat puterinya hendak memperdalam agama islam di Pesantren Quro, yang dipimpinnya. (Dalam suatu kisah, diceritakan Syekh Quro mendarat di Kerawang bersama armada ekspedisi Laksamana Muhammad Cheng Ho atau Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong. Tapi dalam versi lain, mengatakan bahwa Syekh Quro dan Ki Gede Tapa adalah orang yang berbeda.) Sebelum menikah dengan Subanglarang atau Subang Keranjang, Raden Pamanah Rasa telah menikahi sepupunya Nyi Ambet Kasih, putri dari Ki Gedeng Sedhang Kasih atau Ki Gede Sindang Kasih (pemimpin Negeri Surantaka, tetangga Negeri Singapura, yang juga bawahan Kerajaan Galuh. Versi lain mengatakan bahwa Galuh-lah bawahan Sindang Kasih). Ki Gede Sindang Kasih adalah adik dari Prabu Anggalarang. (Dalam suatu legenda, diceritakan bahwa Prabu Anggalarang pernah berkelana sebagai kera, yang dikenal dengan Lutung Kasarung, dan bertemu Puteri Purba Sari, yang kemudian menjadi permaisurinya.) Ki Samadullah Dalam pengembaraan spiritualnya, Walangsungsang singgah di rumah Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Beberapa hari kemudian datanglah Rara Santang, yang juga meninggalkan keraton, untuk mencari kakaknya. Saking gembiranya bertemu sang adik, Walangsungsang memeluk dan mencium adiknya. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi Nyi Indang Geulis, puteri dari Ki Danuwarsih. Ki Danuwarsih sendiri melihat gelagat puterinya, dan merestui puterinya dinikahi Walangsungsang. Bersama istri dan adiknya, Walangsungsang melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian bermukim di tempat Syekh Datuk Kahfi untuk memperdalam agama Islam. Di sana, Walangsungsang diberi nama Ki Samadullah. Syekh Datuk Kahfi atau dikenal juga dengan nama Syekh Idhopi, adalah penerus kepemimpinan pesantren Amparan Jati di Gunung Jati, menggantikan pemimpin pesantren sebelumnya bernama Syekh Nur Jati. Mbah Kuwu Cirebon Atas anjuran gurunya, Walangsungsang menemui Ki Gedeng Alang-alang (Ki Gede Pengalang-alang) untuk membuka daerah baru. Walangsungsang mendirikan Masjid Yang bernama Sang Tajug Jalagrahan, sebagai symbol pusat keagamaan, kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Pejalagrahan. Daerah yang baru dibuka ini awalnya bernama Tegal Alang-alang, kemudian dikenal juga dengan sebutan Kebon Pesisir, yang kelak dikenal sebagai pelabuhan Muara Jati. Lalu memindahkan pusat pemukiman ke pedukuhan Lemah Wungkuk. Dalam perkembangan berikutnya, dukuh Lemah Wungkuk menjadi sebuah kota, dengan dukuh atau kampung lain di sekitarnya, dan diberi nama kota Cirebon atau Grage. Walangsungsang dan Ki Gede Pengalang-alang adalah dwitunggal yang tak terpisahkan. Ki Gede Pengalang-alang mendapat sebutan Kuwu Cirebon I, sedangkan Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon II. Dalam perkembangan berikutnya, Kuwu Cirebon II dikenal sebagai Mbah Kuwu Cirebon. Hari jadi kota Cirebon ditandai pada tanggal 14 Kresna Paksa bulan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Tapi tak jelas benar, apakah itu pada saat membuka wilayah Tegal Alang-alang (Pelabuhan Muara Jati), saat pemindahan pusat pemukiman ke dukuh Lemah Wungkuk, atau saat mendirikan kota Kerajaan (Cirebon). H. Abdullah Iman Atas anjuran gurunya pula, Walangsungsang dan Rara Santang pergi ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ini, Walang Sungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Sedangkan adiknya, Rara santang, berganti nama menjadi Hj. Syarifah Muda’im. Hj. Syarifah Muda’im kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Kelak akan melahirkan Maulana Syarif Hidayatullah atau dikenal juga dengan nama Sunan Gunung Jati. Walangsungsang sempat mukim selama tiga bulan di Tanah Suci. Saat itulah beliau belajar tasawuf dari Haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh. Pangeran Cakra Buana Kembali ke tanah air, Walangsungsang mendirikan rumah besar. Tapi, tak berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa kakeknya, Ki Gede Tapa (ayah dari Subanglarang) wafat. Walangsungsang mendapat warisan berupa harta dan tahta di wilayah Mertasinga (Nagari Singapura), yang sebenarnya jatuh ke Subanglarang, ibunya. Sedangkan syahbandar Karawang dan pesantren Quro, diteruskan oleh Musanuddin, cicitnya. Musanuddin dikenal pula dengan beberapa nama, diantaranya, Lebe Musa, Lebe Uca, Syekh Bentong atau Syekh Gentong. Lebe adalah gelar dari masyarakat yang diberikan bagi seorang penghulu agung. (Versi lain mengatakan bahwa Syekh Gentong adalah anak angkat Syekh Quro. Sedangkan penghulu pertama di Karawang adalah Syekh Ahmad, anaknya yang lahir dari pernikannya dengan Retna Sundari.) Walangsungsang tidak meneruskan kekuasaan di Mertasinga. Beliau memboyong harta warisannya ke Cirebon. Rumah besar yang didirikannya, dijadikan keraton, yang kelak dikenal sebagai Keraton Pakungwati. Walangsungsang pun membentuk pasukan, sebagai Pakuwuan yang berdaulat, yang diberi nama Nagari Carubanlarang. Sejak saat itu, namanya menjadi Pangeran Cakra Buana atau Cakra Bumi. Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, merestui dengan memberikan gelar Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana. (Versi lain mengatakan bahwa Walangsungsang mendirikan rumah besar, bersamaan dengan membangun Masjid Sang Tajug Jalagrahan atau Pejalagrahan atau Pesanggrahan.) Mbah Kuwu Sangkan Kedatangan Syarif Hidayatullah menandai era baru kekuasaan dan penyebaran Islam di Jawa Barat. Setelah berguru di berbagai negara, kemudian tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggantikan Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakra Buana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakra Buana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Caruban ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon. Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.

BIOGRAFI SYEIKH ABDUL MUHYI

Biografi Syeikh Abdul Muhyi, Sejarah ditemukannya Goa Pamijahan, dan Sejarah dilarangnya merokok di Pamijahan Syeikh Haji Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M /1071 H dan dibesarkan oleh orang tuanya di kota Gresik/ Ampel. Beliau selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Ampel. Karena ketekunannya menuntut ilmu disertai dengan ibadah disamping kesederhanaan dan kewibawaan yang menempel di dalam diri beliau maka tak heran jika teman-teman sebaya selalu menghormati dan menyeganinya. Silsilah Keturunan Syeikh Abdul Muhyi Dari ayah: Ratu Galuh- Ratu Puhun - Kuda Lanjar- Mudik Cikawung Ading - Entol Penengah - Sembah Lebe Warto Kusumah - Syeikh Haji Abdul Muhyi Dari Ibu: Rasulullah saw - Sayyidina Ali karroma Allahu wajhahu dan Fatimati Azzahro’ - Syaidina Husein - Ali Zaenal Abidin - Muhammad Al Baqir- Ja'far Ashodiq - Ali AI'Aridhi - Muhammad - Isa Albasyari - Ahmad Al Muhajir - Ubaidillah - 'Uluwi - Ali Kholi'i Qosim - Muhammmad Shohibul Murobath -‘Uluwi - Abdul Malik - Abdullah Khona - Imam Ahmad Syah - Jamaludin Akbar - Asmar Kandi Gisik Karjo Tuban - Ishak Makdhum - Muhammad Ainul Yaqin - Sunan Giri Laya - Wira Candera - Kentol Sumbirana - Rd. Ajeng Tanganziah - Waliyullah Syeikh Haji Abdul Muhyi. Biografi Syeikh Haji Abdul Muhyi Pada saat berusia 19 tahun beliau pergi ke Aceh/ Kuala untuk berguru kepada Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari tahun 1090 -1098 H/1669 -1677 M. Pada usia 27 tahun beliau beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Ketika sampai di Baitullah, Syeikh Abdul Rauf mendapat ilham kalau diantara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya (Syeikh Abdur Rauf) sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf membawa mereka pulang ke Kuala/ Aceh tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana. Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan “Ayu Bakta” putri dari Sembah Dalem Sacaparana. Tak lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685 M). Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana. Perjalan Mencari Goa Pamijahan Disamping untuk membina penduduk, beliau juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan beliau sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdur Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini beliau bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, beliau melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M). Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, beliau tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya beliau turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, beliau kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, +.6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama “ Gunung Mujarod' yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa. Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tharekat. Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui thoriqoh mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/ kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw. Berikut silsilahnya: Rasululah Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi. Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim. Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah “Safarwadi". Di sini beliau membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok. Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam. Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu beliau melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah." Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Beliau menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam. Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca AIQur’an. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sultan G. Jatijuga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut. Dilarang Merokok Pada suatu hari Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah dan hendak pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang sampai dulu di Jawa hendaklah menunggu di tempat yang telah disepakati. Syeikh Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya. Ketika Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau kedinginan lalu berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk merokok tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh dan dirinya merasa berdosa. Akhirnya beliau segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu kabut hilang dan perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya sedang untuk keluarga dan pengikutnya dilarang merokok bila berdekatan dengannya. Karena itu sampai saat ini di daerah Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan. Pada suatu hari beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syeikh Abdul Muhyi berpesan kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan istri ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan mulyakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang /ain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya, kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu. Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri." Pada hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal sholat shubuh, belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam usia 80 tahun. Jenazah ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga saat ini banyak orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil membacakan do'a sebagai wujud kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah yang telah berjuang menyebarkan agama Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya. Sumber: Al Mihrab edisi 8 th. 1-2004 M/1425 H

Senin, 30 Januari 2017

ZIARAH KE MAKAM AMA KOSIM

Disaat kami dilokasi makam, kami bertemu dengan Bpk. Ir. H. Revino (Syahbandar Bogor) beserta keluarga yang kebetulan baru selesai ziarah. Disitu kami terlibat perbincangan yang hangat dan saling bertukar pikiran. Ada pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, teruslah untuk menjalin silaturahmi sesama umat muslim khususnya para anggota Syahbandar. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kita semua..aamiin..aamiin ya rabbal alamin...